PENANGGALAN JAWA {SARI ADITYA 9F}
Lengkapnya Sistem Penanggalan Jawa
Romo
Zoetmulder (1983), di bab 1 buku tulisannya yang berjudul Kalangwan,
menunjukkan rumit dan kumplitnya sistem penanggalan Jawa, sehingga
ungkapan yang diceritakan oleh seorang pencerita, dapat diperhitungkan
tepat kapan kejadiannya dengan penanggalan Masehi. Romo Zoetmulder
menunjukkan hal itu dengan narasi pada prasasti Sukabumi yang berbahasa
Jawa Kuno, bahwa penanggalan Jawa sangat astronomis, dan meskipun
kelihatannya rumit, dalam praktiknya sudah seperti “Kamus Hidup”.
Narasi
prasasti Sukabumi dibuka dengan uraian: “Pada tahun 726 penanggalan
Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari
Haryang (hari kedua Paringkelan), Wage (hari keempat Pasaran), Saniscara
(hari ketujuh Padinan)…. dan seterusnya…” yang setelah diteliti
informasi bulan (paro terang) dengan rumusan pasaran, paringkelan,
padinan dan seterusnya, saat itu adalah tepat pada tanggal 25 Maret
tahun 804 M. Seperti itulah salah satu contoh cara orang Jawa membuat
catatan sejarah dari suatu peristiwa besar, yang entah bagaimana
maksudnya sampai sedetail itu. Kita sekarang sudah tidak tahu lagi apa
maksudnya Paringkelan itu, misalnya. Yang masih tersisa tinggal Pasaran
dan Padinan. Itu pun tanpa pengetahuan praktis penggunaannya.
Padahal
selain Penanggalan Jawa mengenal beberapa sistem hitungan hari, masih
ada lagi kekayaan warisan nenek moyang terkait penanggalan ini, yaitu
wuku, mangsa (musim), tahun, dan windu. Penanggalan Jawa memiliki
hitungan sebagai berikut: 5 macam hitungan hari, 30 nama minggu (wuku),
12 nama bulan surya dan 12 perlambang musim (untuk bertani dan
pelayaran), 8 nama tahun (oleh Sultan Agung nama-namanya diganti dengan
huruf-2 Arab, nama asli dulunya belum terlacak lagi…), 4 nama windu,
tetapi tanpa kenal angka tahun, karena memang tidak memiliki seorang
tokoh penting dalam urusan kehidupannya.
Ya,
mengapa harus menggunakan seseorang tokoh untuk menghitung tahun, jika
sistem kalender itu adalah karya anonim? Apalagi jika suatu rumus
kombinasi nama-nama hari, minggu, bulan, tahun dan windu tertentu mampu
menentukan berapa umur sesuatu kondisi? Sebut saja misalnya suatu hari
merupakan paduan dari “Radhite (minggu), Kliwon, Uwas, Jagur, Kala”
jatuh pada wuku Watugunung, bagian dari musim Srawana, dan bulan “Suro”
dari tahun “Alip” dalam Windu Adi, maka formula hari semacam itu akan
berulang pada hari yang ke: 7 x 6 x 5 x 8 x 9 (kombinasi nama-nama hari
dari 5 macam hitungan) x 30 (nama wuku) x 12 (musim) x 12 (bulan) x 8
(tahun dalam 1 windu) x 4 (jumlah nama windu) = 2,090,188,800 hari
kemudian atau kira-kira 5,726,545 tahun kemudian dengan hitungan tahun
matahari.
Tinggal dua Tatanama Hari
Jika
kita membaca tanggalan jaman sekarang, kadang-kadang kita temukan dua
sistem penamaan hari, yaitu yang dengan hitungan lima harian dan tujuh
harian. Bahkan yang paling banyak sekarang hanya memuat satu sistem
penamaan hari yaitu tujuh harian seminggu: Ahad (Minggu), Senin, Selasa,
Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Sistem hitungan lima harian dikenal
dengan nama Pasaran, yaitu: Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Namun
demikian “pasaran” hanya tinggal nama, tanpa ada pemaknaan kegunaannya.
Hal
ini terjadi, kemungkinan besar karena berubahnya sistem kalender yang
digunakan di Indonesia, yang masih lumayan, tidak hanya berdasarkan
kalender Masehi yang solar (berdasar matahari, sebenarnya rotasi dan
revolusi bumi terhadap matahari), tetapi juga kalender Jawa yang lunar
(berdasar peredaran bulan mengelilingi bumi). Padahal, peradaban Jawa
memiliki sistem kalender yang sangat lengkap. Untuk hitungan hari ada
lima sistem penghitungan, seperti yang disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel
1. Nama-nama Hari dalam Penghitungan Hari Penanggalan Jawa.
5 Harian
(Pasaran)
|
6 Harian
(Paringkelan)
|
7 Harian
(Padinan)
|
8 Harian
(Padewan)
|
9 Harian
(Padangon)
|
Legi
|
Tungle
(daun)
|
Radhite
|
Sri
|
Dangu
(batu)
|
Pahing
|
Aryang
(manusia)
|
Soma
|
Indra
|
Jagur
(macan)
|
Pon
|
Wurukung
(ternak)
|
Anggara
|
Guru
|
Gigis
(bumi)
|
Wage
|
Paningron
(ikan)
|
Budha
|
Yama
|
Kerangan
(matahari)
|
Kliwon
|
Uwas
(burung)
|
Respati
|
Rudra
|
Nohan
(bulan)
|
|
Mawulu
(benih)
|
Sukra
|
Brama
|
Wogan
(ulat)
|
|
|
Sanisçara
|
Kala
|
Tulus (air)
|
|
|
|
Uma
|
Wurung
(api)
|
|
|
|
|
Dadi (kayu)
|
Konferensi
ini berlangsung tanggal 20 hingga 25 Oktober 2008, yang jika dihitung
dengan sistem perhitungan hari lengkap memiliki ordinat hari sebagai berikut:
Tabel
2. Hitungan Hari Penyelenggaraan KIKJ 2008
Tanggal
|
Pasaran
|
Paringkelan
|
Padinan
|
Padewan
|
Padangon
|
20 Oktober
|
Legi
|
Wurukung
|
Soma
|
Sri
|
Wogan
|
21 Oktober
|
Pahing
|
Paningron
|
Anggara
|
Indra
|
Tulus
|
22 Oktober
|
Pon
|
Uwas
|
Budha
|
Guru
|
Wurung
|
23 Oktober
|
Wage
|
Mawulu
|
Respati
|
Yama
|
Dadi
|
24 Oktober
|
Kliwon
|
Tungle
|
Sukra
|
Rudra
|
Dangu
|
25 Oktober
|
Legi
|
Aryang
|
Sanisçara
|
Brama
|
Jagur
|
Pada
makalah ini, penulis tidak ingin membahas satu persatu dari sistem
hitungan hari di atas, namun ingin menyatakan bahwa dalam nama-nama
“hari” diatas telah diberi makna simbolik oleh nenek moyang Jawa. Selain
itu, dua macam hitungan hari yaitu Pasaran dan Paringkelan,
rupa-rupanya pernah digunakan sebagai pedoman berkehidupan di
masyarakat. Tidak sekedar menentukan libur dan hari kerja, kapan
beribadah, kapan hari bebas, melainkan lebih menyangkut pada kegiatan
perekonomian masyarakat. Berhubung pokok bahasan tulisan ini adalah
tentang Pasaran, maka mari kita coba kaji simbol-simbol yang telah
diberikan oleh nenek moyang Jawa kepada setiap “hari pasaran” yang
gunanya untuk memberi gambaran sikap dan sifat seseorang dengan
kelahiran “hari pasaran”, sebagai berikut.
Tabel 3.
Simbol atau Pasemon “Hari” Pasaran
Hari
|
Pasemon
|
Watak Hewan
|
Legi
|
Sumendhi
ngibarate Ratu Bupati (mengayomi, sanggup, lapang dada, ikhlas)
|
Kucing
(jinak, awas, curigaan) dan Tikus (awas tapi bingungan, betah melek)
|
Pahing
|
Cendhana
(sangat etungan untung-rugi)
|
Macan (jauh
jangkauannya, individualis)
|
Pon
|
Samahita
lakuning utusan (jinak budinya, petuahnya banyak diturut, serius)
|
Domba/Kambing
(tidak jauh bermainnya, hanya menikmati miliknya sendiri)
|
Wage
|
Prabuanom
lakuning dhandhang (cakap tetapi angkuh)
|
Sapi
(jinak, semaunya yang memerintahkan jadi, harus dipelihara, ngeyel)
|
Kliwon
|
Wisa
marta durjana tengah (ada baiknya tapi juga ada
jeleknya, pandai bicara)
|
Monyet
dan Anjing (sulit dijinakkan, tetapi kalau jinak sangat setia)
|
Selain
Pasaran, hitungan hari Paringkelan, kelihatannya pernah dijadikan
pedoman dalam mencari nafkah. Perkiraan penulis, penerapan Paringkelan
itu kemungkinan memandu pemusatan perhatian (fokus) pada aspek-aspek
pencarian nafkah sebagai berikut:
- Tunglé (daun) memandu masyarakat dalam memelihara tanaman
pertanian
- Aryang (manusia) untuk kegiatan sosial bermasyarakat
- Wurukung (hewan ternak/rajakaya) fokus untuk usaha peternakan
termasuk dalam pemasaran ternak rajakaya (kerbau, sapi, kuda, kambing,
domba)
- Paningron (ikan air tawar) fokus dalam pemeliharaan ikan
- Uwas (unggas) fokus pada usaha peternakan unggas
- Mawulu (benih) fokus pada penanaman
Maksud dari
fokus tersebut, bukan berarti pada “hari paringkelan” tertentu semua
orang bekerja pada pekerjaan yang sama, melainkan pada hari-hari itulah
saat yang tepat melakukan usaha-usaha terkait dengan lambang paringkelan
sesuai dengan “profesi” masing-masing. Misalnya seorang petani penanam
padi, maka penyebaran benih dilakukan pada hari Mawulu, kemudian setiap 6
hari ke sawah memelihara tanaman pada hari Tunglé.
Hitungan
6 harian ini ternyata juga berlaku di Jepang, dengan sistem hitungan
“Rokuyou”-nya. Roku adalah enam (6), you adalah sebutan hari. Keenam
nama hari dalam rokuyou adalah sebagai berikut:
- 1. Senshou
(hari selamat dan banyak harapan untuk memulai bisnis baru)
- 2. Tomibiki
(hari tidak baik untuk bisnis dan pemakaman)
- 3. Senbu
(kebalikan dari Senshou)
- 4. Butsumetsu
(hari yang dipercaya sebagai hari wafat Buddha)
- 5. Taian
(hari paling baik untuk segala urusan; setiap peristiwa penting seperti
pelantikan kabinet, peresmian pabrik dan lain-lain di Jepang biasanya
ditepatkan pada hari Taian
ini.)
Ketika
penulis tinggal di Ishigakijima,
Okinawa, hitungan Rokuyou
ini dipergunakan sebagai hari pasaran. Pada hari Taian maka para
peternak sapi mendatangi pasar hewan untuk bertransaksi segala macam
urusan peternakan sapi. Sekarang bagaimana di Jawa?
Seperti
judul sub-bab di atas, pertanyaannya adalah mengapa tinggal dua sistem
hitungan hari yang tersisa di Penanggalan Jawa? Apakah tidak mungkin
(meskipun tinggal dua macam) kita hidupkan lagi penerapannya di
masyarakat? Mari kita telisik bersama.
PASARAN PANUNGGALAN
Pasar
Pengertian
pasar jaman sekarang menjadi abstrak, karena berupa lembaga tempat
transformasi barang dan jasa menjadi memiliki nilai nominal. Barang dan
jasa menjadi punya harga. Namun demikian dalam bahasa Jawa, pasar itu
sama dengan pekan, sama dengan peken. Tempat keramaian dimana terjadi
proses transaksi berbagai macam barang dan jasa, tempat “jual-beli”
secara massal (Kamus Kawi-Indonesia, Wojowasito, cetakan ke-10 tanpa
tahun; Kamus Jawa Kuna Indonesia, Zoetmulder, 2004). Jadi pasar, pekan
dan peken adalah kata asli Jawa karena ada dalam bahasa Jawa Kuna,
Bahasa Kawi dan dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat Jawa hingga
sekarang.
Akibat
dari kondisi itu, pasar biasanya menjadi konsekuensi dari adanya kota.
Kota diperkirakan berkembang dari tempat interaksi dan transaksi paling
sederhana, yaitu ‘perempatan jalan’, yang pada suatu ketika ada orang
berkumpul atau bertemu di situ, lalu ada yang menyediakan makanan dan
minuman yang dipertukarkan dengan “uang”, kemudian diikuti dengan mata
dagangan lain-lain sehingga perempatan menjadi ramai lalu lahirlah kota
dengan pemerintahan dan akhirnya menjadi kerajaan. Maka dari itu di
beberapa tempat (Madura dan Jawa Timur?) ada kelompok masyarakat yang
menyebut perempatan jalan sebagai “krajan”.
Panunggalan
Panunggalan
adalah konsep hidup asli orang Jawa. Cermin utamanya adalah faham sangkan-paran dan
hubungan Pancer-Mancapat
(dalam urusannya dengan kehidupan seseorang, menjadi ’sedulur papat lima pancer‘).
Prinsipnya adalah baik pangkal bertolak (asal-usul, sangkan) dan tempat tujuan (paran) adalah TUNGGAL.
Mencerminkan suatu gerak dinamis melingkar yang semakin membesar, dengan
pandangan mobah-mosik
istilah jawa untuk gerak yang dinamis.
Unsur
yang bergerak (berangkat pergi ketempat yang sama dengan asal) adalah
empat unsur yang berangkat dari dan menuju ke pancer. Dalam konsep
perekonomian, maka pancer
adalah pusat pemerintahan (ibukota, kuthorojo) dan wilayahnya (wewengkon) yang terbagi
menjadi empat wilayah di: Selatan, Barat, Utara dan Timur. Maksudnya di
ibukota ada pasar, di empat wilayah juga ada pasar yang merupakan pusat
keramaian orang bertransaksi barang dan jasa. Jadi yang bergerak adalah
para pedagangnya, berangkat dari Pusat kota lalu bergrak melingkar
searah jarum jam ke Selatan, ke Barat, ke Utara, ke Timur lalu kembali
ke Pusat. Adanya transaksi mengakibatkan nilai uang menjadi semakin
besar. Dengan demikian sistem Pasar Panunggalan seharusnya semakin maju
dan menyejahterakan.
Sistem Pasaran Panunggalan dan Ritual Angon Putu
Jika
penulis tidak salah mengingat kenangan masa kecilnya, maka demikianlah
sistem peredaran kegiatan ekonomi di kota kelahiran penulis, Klaten
(dahulu Pajang Kidul), yang menjadi bagian (mungkin salah satu kadipaten wewengkon) dari Kerajaan
Surakarta. Sebagai ibukota kadipaten,
Klaten memiliki pasar besar di pusat kota dan berlangsung keramaiannya
pada “hari pasaran” Kliwon.
Jadi
ada jadwal perpindahan pasar besar (untuk hewan ternak dan pet, waktu itu): Kliwon (pusat
kota Klaten dan Cawas), Legi (Prambanan dan Kembang – posisi di barat
daya dan barat laut Klaten), Pahing (Wedi dan Jatinom – posisi
di Selatan dan Timur laut Klaten), Pon (Karangnongko – posisi di Utara
Klaten) dan Wage (Pedan – Posisi di Tenggara Klaten). Sedang khusus
untuk pasar RAJAKAYA (ternak piaraan besar: sapi, jaran, kebo, wedhus)
dan Hewan Kelangenan (truwelu, kirik, cemeng, burung): perputaran
pasarnya: Kliwon (Klaten atau Pajang Kidul), Legi (Prambanan – sebelah
barat daya), Pahing (Sunggingan Boyolali – sebelah Timur Laut Klaten,
tetapi sebelah Barat Laut Surakarta), Pon (Semin-Gunung Kidul – posisi
di Selatan Klaten, tetapi Barat Dayanya Surakarta), dan Wage (Pedan –
posisi di Tenggara Klaten yang bersamaan masing-masing sampai ke Pati,
Munthilan, dan lain-lain wilayah di Jolodulangmas (Jogja Solo Kedu Banyumas).
Dengan
demikian pada waktu itu, pusat kota (katakanlah metropolitan) ya tetap
sebagai pusat kota, pusat pemerintahan. Keberadaan perekonomiannya
didukung oleh setidaknya 4 wilayah di sekelilingnya. Di wilayah-wilayah
secara bergilir menjadi ‘pusat-pusat’ pergerakan ekonomi (pasar), maka
arus urbanisasi, tidak perlu terjadi. Perlu diingat bahwa di setiap
pasar yang diperdagangkan adalah produk-produk setempat, yang ditambah
dengan berbagai produk yang dibawa oleh para pedagang dari wilayah lain.
Kondisi
pasar yang serbaneka ini ternyata juga menjadi media pendidikan
pemasaran untuk anak-anak. Terdapat suatu tradisi yang disebut dengan angon putu
(menggembalakan cucu). Anak-anak yang menginjak umur satu windu (8
tahun) dengan bimbingan kakek (atau orang yang dituakan di keluarga sang
anak) diajak dan diperkenalkan dengan kehidupan pasar. Sang kakek
dengan membawa cambuk (simbol sedang menggembalakan sesuatu) mengiringi
di belakang para cucu (yang dikalungi tambang – simbol sesuatu yang
sedang digembalakan) mengenal mata dagangan, proses jual beli, dan
beberapa dilatih untuk bertransaksi, sungguhpun hanya sekedar ‘nembung’ beli semangkuk dawet. Pendidikan pemasaran
dengan langsung melihat lapangan kepada anak berumur 8 tahun ini mungkin
yang tidak ditemui di lingkup budaya lain.
Sayangnya
ritual angon putu sekarang
sama sekali sudah tidak ada. Alasannya adalah berubahnya sistem pasar
di kota-kota dan kawedanan-kawedanan, karena introduksi sistem pasaran
lain, termasuk pasar ritel dan toserba. Dalam ingatan penulis, pasar
Kliwon (Kliwonan)
Klaten menjadi mati setelah pemerintah daerah memisahkan pasar ternak
besar dengan pasar unggas dengan memindahkannya ke luar pusat kota.
Sejak saat itulah pasar Klaten menjadi sepi. Acara angon putu, berganti menjadi ‘nonton toko‘.
Memudarnya Kondisi Gemah Ripah Loh Jinawi
Berikut
penulis kutip kembali penggal Janturan Nuswantoro di Pendahuluan yang
kira-kira ada kaitannya dengan Sistem Pasaran Panunggalan: “Gemah kathah poro nangkudo kang lumaku
dedagangan anglur selur datan ono pedhoté, labet tan ono sangsayaning
margi. Ripah kathah para janmo monco negari kang
samyo katrem abebalé wisma ing salebeting kitha, jejel apipit bebasan
aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak. Loh subur kang sarwo tinandur. Jinawi murah kang sarwo tinuku. Karto poro kawulo ing padusunan mungkul
pangôlahing tetanèn ingon-ingon kebô-sapi pitik-iwèn datan cinancangan
rahino aglar ing pangonan wanci ratri bali marang kandhange dhéwé-dhéwé
datan wonten kang cèwèt“, yang artinya kira-kira “Gemah, banyak para nahkoda
yang berjalan sambil berdagang hilir-mudik tiada putusnya karena tiada
mara bahaya di jalanan. Ripah,
banyak orang asing yang merasa tenteram berumahtangga di pusat kota
dalam pemukiman padat sehingga tempat lapang terasa sempit. Loh, subur semua yang ditanam.
Jinawi, murah semua
yang dibeli (terjangkau). Karto,
masyarakat di pedesaan bertani sungguh-sungguh memelihara
ternak kerbau-sapi dan unggas tanpa diikat, pagi mencari makan di padang
gembalaan, sore pulang ke kandang masing-masing tanpa ada yang hilang.”
Ya,
itulah harapan yang selalu didengungkan oleh Ki Dalang dalam membuka
pagelaran. Janturan seperti itu, tentunya bukan
hanya harapan, tetapi sudah pernah terjadi. Kondisi itu kiranya dapat
diwujudkan jika sistem pasaran panunggalan masih dilaksanakan dengan
baik dan tertip. Swasembada berbagai komoditas dapat
berlangsung lestari. Karena apa?
Mari
coba kita bayangkan. Ada suatu wiayah yang kegiatan perekonomiannya
bergiliran dari satu tempat ke tempat lain dengan jadwal yang jelas.
Hari Kliwon di pusat pemerintahan (ibukota), Legi di sebelah Selatan
ibukota, Pahing bergerak ke sebelah Barat, Pon bergerak ke sebelah
Utara, Wage ke sebelah Timur dan kembali lagi ke ibukota pada hari
Kliwon berikutnya. Nangkudo
yang anglur selur terjamin. Perputaran “uang” dan multiplikasinya
berlangsung baik. Ketergantungan akan produk dari luar wilayah dapat
ditekan. Petani di pedesaan tetap hidup sejahtera menyelenggarakan
usahanya, karena ada kepastian pasar yang terjadwal. Jadwal yang jelas
juga memudahkan tindakan pengamanan, sehingga wilayah itu tetap dalam
keadaan karto toto raharjo,
aman tertib jauh dari mara bahaya. Kondisi Eko Adi Doso Purwo dapat
diharapkan mewujud.
Tapi,
sekarang? Lihatlah kondisi kota-kota dan
kabupaten-kabupaten kita dewasa ini. Dengan semangat OTODA beberapa
kabupaten, ibukotanya menjadi Kota Madya dan di luar itu menjadi
kabupaten. Kota-kota seolah-olah merasa dapat berdiri kokoh tanpa
dukungan wilayah kabupaten, yang dulunya adalah daerah-daerah penyangga
perekonomian dengan jadwal pasaran
panunggalan. Usaha tani menjadi semakin jauh
dari pasar, dengan jembatan para pengumpul
dan bandar yang
datang langsung ke desa, terkadang dengan sistem ijon. Peternakan rakyat
juga ikut memudar, karena kepastian pasar yang semakin hilang.
Pemisahan
kota dengan wilayah penyangga dan mengkhususkan kota sebagai area
bisnis “non pertanian” menyebabkan arus urbanisasi yang semakin deras.
Urbanisasi menyebabkan kantong-kantong pemukiman kumuh dan cenderung
meningkatnya kriminalitas di area peri-urban (pinggir kota) dengan ironi
harus hidup berdampingan dengan pemukiman-pemukiman mewah berpenjaga
keamanan.
Bukti
nyata adalah kemacetan lalu-lintas di mana-mana yang bukan dipadati
oleh kendaraan-kendaraan yang mentransportasikan
barang ke kota sehingga membangkitkan nilai tambah produk lokal
pedesaan, melainkan hanya mendistribusikan penumpang. Singkatnya potensi
ekonomi wilayah pedesaan semakin terpinggirkan. Ditambah dengan
hadirnya toko-toko ritel (sebagian besar dimiliki oleh pemodal asing)
yang merambah sampai pedesaan.
PENUTUP: PENERAPAN
KEMBALI, MUNGKINKAH?
Sekali
lagi, dahulu pusat kota dalam sistem pasaran panunggalan, tetap menjadi
pusat perekonomian yang didukung secara bergilir oleh wilayah-wilayah
sekitar, yang dahulu (mungkin) disebut Kawedanan. Sekarang, kita lihat
konsep OTODA dan pemisahan PEMKOT dengan PEMKAB, mempertontonkan bahwa
kota merasa dapat bebas dari wilayah-wilayah penyangga. Hal ini telah
menyebabkannya menjadi peri-urban yang menjadi kantong-kantong kekumuhan
dan bahkan kriminal kecil-kecilan. Semangat hidup rukun penuh
kegotongroyongan berganti menjadi hidup dengan semangat persaingan yang
tidak sehat. Antara Pemkot dan Pemkab kadang-kadang malah berebut
kesempatan menarik pajak!
Jika
kita ingin membangun perekonomian wilayah, maka pasaran panunggalan
kiranya menawarkan pemecahan yang komprehensif. Sistem ini dapat
diandalkan untuk membangkitkan perekonomian yang dinamis berawal dari
ibukota, mengimbas membawa kemakmuran ke wilayah-wilayah penyangga.
Produk lokal wilayah secara bergiliran dapat terpasarkan, membawa
kondisi karto toto raharjo.
Untuk
itu semua, yang pertama kali harus kita akui adalah, bahwa selama ini
kita telah mengingkari sifat genetik
kejawaan yang dahulu pernah hidup makmur sejahtera di bumi
tropika basah ini. Salah satu sifat genetik kejawaan itu adalah sistem
panunggalan sangkan-paran
dan pancer-moncopat.
Bahwa segala sesuatu itu adalah gerakan konsentris membumbung semakin
besar. Harus ada yang menjadi Pancer dan harus ada yang sadar betul
sebagai moncopat,
karena antara sangkan dan
paran itu ternyata
TUNGGAL adanya. Saatnya semangat perpecahan dan egoisme kita tinggalkan
dan kita ganti dengan semangat panuggalan. Kita galang lagi semangat gotong royong dengan nilai rukun, menggantikan semangat
persaingan bebas.