Jumat, 10 Februari 2012

PENANGGALAN JAWA {SARI ADITYA 9F}
Lengkapnya Sistem Penanggalan Jawa
Romo Zoetmulder (1983), di bab 1 buku tulisannya yang berjudul Kalangwan, menunjukkan rumit dan kumplitnya sistem penanggalan Jawa, sehingga ungkapan yang diceritakan oleh seorang pencerita, dapat diperhitungkan tepat kapan kejadiannya dengan penanggalan Masehi. Romo Zoetmulder menunjukkan hal itu dengan narasi pada prasasti Sukabumi yang berbahasa Jawa Kuno, bahwa penanggalan Jawa sangat astronomis, dan meskipun kelihatannya rumit, dalam praktiknya sudah seperti “Kamus Hidup”.
Narasi prasasti Sukabumi dibuka dengan uraian: “Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari Haryang (hari kedua Paringkelan), Wage (hari keempat Pasaran), Saniscara (hari ketujuh Padinan)…. dan seterusnya…” yang  setelah diteliti informasi bulan (paro terang) dengan rumusan pasaran, paringkelan, padinan dan seterusnya, saat itu adalah tepat pada tanggal 25 Maret tahun 804 M. Seperti itulah salah satu contoh cara orang Jawa membuat catatan sejarah dari suatu peristiwa besar, yang entah bagaimana maksudnya sampai sedetail itu. Kita sekarang sudah tidak tahu lagi apa maksudnya Paringkelan itu, misalnya. Yang masih tersisa tinggal Pasaran dan Padinan. Itu pun tanpa pengetahuan praktis penggunaannya.
Padahal selain Penanggalan Jawa mengenal beberapa sistem hitungan hari, masih ada lagi kekayaan warisan nenek moyang terkait penanggalan ini, yaitu wuku, mangsa (musim), tahun, dan windu. Penanggalan Jawa memiliki hitungan sebagai berikut: 5 macam hitungan hari, 30 nama minggu (wuku), 12 nama bulan surya dan 12 perlambang musim (untuk bertani dan pelayaran), 8 nama tahun (oleh Sultan Agung nama-namanya diganti dengan huruf-2 Arab, nama asli dulunya belum terlacak lagi…), 4 nama windu, tetapi tanpa kenal angka tahun, karena memang tidak memiliki seorang tokoh penting dalam urusan kehidupannya.
Ya, mengapa harus menggunakan seseorang tokoh untuk menghitung tahun, jika sistem kalender itu adalah karya anonim? Apalagi jika suatu rumus kombinasi nama-nama hari, minggu, bulan, tahun dan windu tertentu mampu menentukan berapa umur sesuatu kondisi? Sebut saja misalnya suatu hari merupakan paduan dari “Radhite (minggu), Kliwon, Uwas, Jagur, Kala” jatuh pada wuku Watugunung, bagian dari musim Srawana, dan bulan “Suro” dari tahun “Alip”  dalam Windu Adi, maka formula hari semacam itu akan berulang pada hari yang ke: 7 x 6 x 5 x 8 x 9 (kombinasi nama-nama hari dari 5 macam hitungan) x 30 (nama wuku) x 12 (musim) x 12 (bulan) x 8 (tahun dalam 1 windu) x 4 (jumlah nama windu) =   2,090,188,800 hari kemudian atau kira-kira 5,726,545 tahun kemudian dengan hitungan tahun matahari.
Tinggal dua Tatanama Hari
Jika kita membaca tanggalan jaman sekarang, kadang-kadang kita temukan dua sistem penamaan hari, yaitu yang dengan hitungan lima harian dan tujuh harian. Bahkan yang paling banyak sekarang hanya memuat satu sistem penamaan hari yaitu tujuh harian seminggu: Ahad (Minggu), Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Sistem hitungan lima harian dikenal dengan nama Pasaran, yaitu: Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Namun demikian “pasaran” hanya tinggal nama, tanpa ada pemaknaan kegunaannya.
Hal ini terjadi, kemungkinan besar karena berubahnya sistem kalender yang digunakan di Indonesia, yang masih lumayan, tidak hanya berdasarkan kalender Masehi yang solar (berdasar matahari, sebenarnya rotasi dan revolusi bumi terhadap matahari), tetapi juga kalender Jawa yang lunar (berdasar peredaran bulan mengelilingi bumi). Padahal, peradaban Jawa memiliki sistem kalender yang sangat lengkap. Untuk hitungan hari ada lima sistem penghitungan, seperti yang disajikan pada Tabel 1 berikut.
 Tabel 1. Nama-nama Hari dalam Penghitungan Hari Penanggalan Jawa.
5 Harian
(Pasaran)
6 Harian
(Paringkelan)
7 Harian
(Padinan)
8 Harian
(Padewan)
9 Harian
(Padangon)
Legi
Tungle (daun)
Radhite
Sri
Dangu (batu)
Pahing
Aryang (manusia)
Soma
Indra
Jagur (macan)
Pon
Wurukung (ternak)
Anggara
Guru
Gigis (bumi)
Wage
Paningron (ikan)
Budha
Yama
Kerangan (matahari)
Kliwon
Uwas (burung)
Respati
Rudra
Nohan (bulan)

Mawulu (benih)
Sukra
Brama
Wogan (ulat)


Sanisçara
Kala
Tulus (air)



Uma
Wurung (api)




Dadi (kayu)
Konferensi ini berlangsung tanggal 20 hingga 25 Oktober 2008, yang jika dihitung dengan sistem perhitungan hari lengkap memiliki ordinat hari sebagai berikut:
 Tabel 2. Hitungan Hari Penyelenggaraan KIKJ 2008
Tanggal
Pasaran
Paringkelan
Padinan
Padewan
Padangon
20 Oktober
Legi
Wurukung
Soma
Sri
Wogan
21 Oktober
Pahing
Paningron
Anggara
Indra
Tulus
22 Oktober
Pon
Uwas
Budha
Guru
Wurung
23 Oktober
Wage
Mawulu
Respati
Yama
Dadi
24 Oktober
Kliwon
Tungle
Sukra
Rudra
Dangu
25 Oktober
Legi
Aryang
Sanisçara
Brama
Jagur
Pada makalah ini, penulis tidak ingin membahas satu persatu dari sistem hitungan hari di atas, namun ingin menyatakan bahwa dalam nama-nama “hari” diatas telah diberi makna simbolik oleh nenek moyang Jawa. Selain itu, dua macam hitungan hari yaitu Pasaran dan Paringkelan, rupa-rupanya pernah digunakan sebagai pedoman berkehidupan di masyarakat. Tidak sekedar menentukan libur dan hari kerja, kapan beribadah, kapan hari bebas, melainkan lebih menyangkut pada kegiatan perekonomian masyarakat. Berhubung pokok bahasan tulisan ini adalah tentang Pasaran, maka mari kita coba kaji simbol-simbol yang telah diberikan oleh nenek moyang Jawa kepada setiap “hari pasaran” yang gunanya untuk memberi gambaran sikap dan sifat seseorang dengan kelahiran “hari pasaran”, sebagai berikut.
Tabel 3. Simbol atau Pasemon “Hari” Pasaran
Hari
Pasemon
Watak Hewan
Legi
Sumendhi ngibarate Ratu Bupati (mengayomi, sanggup, lapang dada, ikhlas)
Kucing (jinak, awas, curigaan) dan Tikus (awas tapi bingungan, betah melek)
Pahing
Cendhana (sangat etungan untung-rugi)
Macan (jauh jangkauannya, individualis)
Pon
Samahita lakuning utusan (jinak budinya, petuahnya banyak diturut, serius)
Domba/Kambing (tidak jauh bermainnya, hanya menikmati miliknya sendiri)
Wage
Prabuanom lakuning dhandhang (cakap tetapi angkuh)
Sapi (jinak, semaunya yang memerintahkan jadi, harus dipelihara, ngeyel)
Kliwon
Wisa marta durjana tengah (ada baiknya tapi juga ada jeleknya, pandai bicara)
Monyet dan Anjing (sulit dijinakkan, tetapi kalau jinak sangat setia)

Selain Pasaran, hitungan hari Paringkelan, kelihatannya pernah dijadikan pedoman dalam mencari nafkah. Perkiraan penulis, penerapan Paringkelan itu kemungkinan memandu pemusatan perhatian (fokus) pada aspek-aspek pencarian nafkah sebagai berikut:
  1. Tunglé (daun) memandu masyarakat dalam memelihara tanaman pertanian
  2. Aryang (manusia) untuk kegiatan sosial bermasyarakat
  3. Wurukung (hewan ternak/rajakaya) fokus untuk usaha peternakan termasuk dalam pemasaran ternak rajakaya (kerbau, sapi, kuda, kambing, domba)
  4. Paningron (ikan air tawar) fokus dalam pemeliharaan ikan
  5. Uwas (unggas) fokus pada usaha peternakan unggas
  6. Mawulu (benih) fokus pada penanaman
Maksud dari fokus tersebut, bukan berarti pada “hari paringkelan” tertentu semua orang bekerja pada pekerjaan yang sama, melainkan pada hari-hari itulah saat yang tepat melakukan usaha-usaha terkait dengan lambang paringkelan sesuai dengan “profesi” masing-masing. Misalnya seorang petani penanam padi, maka penyebaran benih dilakukan pada hari Mawulu, kemudian setiap 6 hari ke sawah memelihara tanaman pada hari Tunglé.
Hitungan 6 harian ini ternyata juga berlaku di Jepang, dengan sistem hitungan “Rokuyou”-nya. Roku adalah enam (6), you adalah sebutan hari. Keenam nama hari dalam rokuyou adalah sebagai berikut:
  • 1. Senshou (hari selamat dan banyak harapan untuk memulai bisnis baru)
  • 2. Tomibiki (hari tidak baik untuk bisnis dan pemakaman)
  • 3. Senbu (kebalikan dari Senshou)
  • 4. Butsumetsu (hari yang dipercaya sebagai hari wafat Buddha)
  • 5. Taian (hari paling baik untuk segala urusan; setiap peristiwa penting seperti pelantikan kabinet, peresmian pabrik dan lain-lain di Jepang biasanya ditepatkan pada hari Taian ini.)
Ketika penulis tinggal di Ishigakijima, Okinawa, hitungan Rokuyou ini dipergunakan sebagai hari pasaran. Pada hari Taian maka para peternak sapi mendatangi pasar hewan untuk bertransaksi segala macam urusan peternakan sapi. Sekarang bagaimana di Jawa?
Seperti judul sub-bab di atas, pertanyaannya adalah mengapa tinggal dua sistem hitungan hari yang tersisa di Penanggalan Jawa? Apakah tidak mungkin (meskipun tinggal dua macam) kita hidupkan lagi penerapannya di masyarakat? Mari kita telisik bersama.
PASARAN PANUNGGALAN
Pasar
Pengertian pasar jaman sekarang menjadi abstrak, karena berupa lembaga tempat transformasi barang dan jasa menjadi memiliki nilai nominal. Barang dan jasa menjadi punya harga. Namun demikian dalam bahasa Jawa, pasar itu sama dengan pekan, sama dengan peken. Tempat keramaian dimana terjadi proses transaksi berbagai macam barang dan jasa, tempat “jual-beli” secara massal (Kamus Kawi-Indonesia, Wojowasito, cetakan ke-10 tanpa tahun; Kamus Jawa Kuna Indonesia, Zoetmulder, 2004). Jadi pasar, pekan dan peken adalah kata asli Jawa karena ada dalam bahasa Jawa Kuna, Bahasa Kawi dan dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat Jawa hingga sekarang.
Akibat dari kondisi itu, pasar biasanya menjadi konsekuensi dari adanya kota. Kota diperkirakan berkembang dari tempat interaksi dan transaksi paling sederhana, yaitu ‘perempatan jalan’, yang pada suatu ketika ada orang berkumpul atau bertemu di situ, lalu ada yang menyediakan makanan dan minuman yang dipertukarkan dengan “uang”, kemudian diikuti dengan mata dagangan lain-lain sehingga perempatan menjadi ramai lalu lahirlah kota dengan pemerintahan dan akhirnya menjadi kerajaan. Maka dari itu di beberapa tempat (Madura dan Jawa Timur?) ada kelompok masyarakat yang menyebut perempatan jalan sebagai “krajan”.
Panunggalan
Panunggalan adalah konsep hidup asli orang Jawa. Cermin utamanya adalah faham sangkan-paran dan hubungan Pancer-Mancapat (dalam urusannya dengan kehidupan seseorang, menjadi ’sedulur papat lima pancer‘). Prinsipnya adalah baik pangkal bertolak (asal-usul, sangkan) dan tempat tujuan (paran) adalah TUNGGAL. Mencerminkan suatu gerak dinamis melingkar yang semakin membesar, dengan pandangan mobah-mosik istilah jawa untuk gerak yang dinamis.
Unsur yang bergerak (berangkat pergi ketempat yang sama dengan asal) adalah empat unsur yang berangkat dari dan menuju ke pancer. Dalam konsep perekonomian, maka pancer adalah pusat pemerintahan (ibukota, kuthorojo) dan wilayahnya (wewengkon) yang terbagi menjadi empat wilayah di: Selatan, Barat, Utara dan Timur. Maksudnya di ibukota ada pasar, di empat wilayah juga ada pasar yang merupakan pusat keramaian orang bertransaksi barang dan jasa. Jadi yang bergerak adalah para pedagangnya, berangkat dari Pusat kota lalu bergrak melingkar searah jarum jam ke Selatan, ke Barat, ke Utara, ke Timur lalu kembali ke Pusat. Adanya transaksi mengakibatkan nilai uang menjadi semakin besar. Dengan demikian sistem Pasar Panunggalan seharusnya semakin maju dan menyejahterakan.
Sistem Pasaran Panunggalan dan Ritual Angon Putu
Jika penulis tidak salah mengingat kenangan masa kecilnya, maka demikianlah sistem peredaran kegiatan ekonomi di kota kelahiran penulis, Klaten (dahulu Pajang Kidul), yang menjadi bagian (mungkin salah satu kadipaten wewengkon) dari Kerajaan Surakarta. Sebagai ibukota kadipaten, Klaten memiliki pasar besar di pusat kota dan berlangsung keramaiannya pada “hari pasaran” Kliwon.
Jadi ada jadwal perpindahan pasar besar (untuk hewan ternak dan pet, waktu itu): Kliwon (pusat kota Klaten dan Cawas), Legi (Prambanan dan Kembang – posisi di barat daya dan barat laut Klaten), Pahing (Wedi dan Jatinom – posisi di Selatan dan Timur laut Klaten), Pon (Karangnongko – posisi di Utara Klaten) dan Wage (Pedan – Posisi di Tenggara Klaten). Sedang khusus untuk pasar RAJAKAYA (ternak piaraan besar: sapi, jaran, kebo, wedhus) dan Hewan Kelangenan (truwelu, kirik, cemeng, burung): perputaran pasarnya: Kliwon (Klaten  atau Pajang Kidul), Legi (Prambanan – sebelah barat daya), Pahing (Sunggingan Boyolali – sebelah Timur Laut Klaten, tetapi sebelah Barat Laut Surakarta), Pon (Semin-Gunung Kidul – posisi di Selatan Klaten, tetapi Barat Dayanya Surakarta), dan Wage (Pedan – posisi di Tenggara Klaten yang bersamaan masing-masing sampai ke Pati, Munthilan, dan lain-lain wilayah di Jolodulangmas (Jogja Solo Kedu Banyumas).
Dengan demikian pada waktu itu, pusat kota (katakanlah metropolitan) ya tetap sebagai pusat kota, pusat pemerintahan. Keberadaan perekonomiannya didukung oleh setidaknya 4 wilayah di sekelilingnya. Di wilayah-wilayah secara bergilir menjadi ‘pusat-pusat’ pergerakan ekonomi (pasar), maka arus urbanisasi, tidak perlu terjadi. Perlu diingat bahwa di setiap pasar yang diperdagangkan adalah produk-produk setempat, yang ditambah dengan berbagai produk yang dibawa oleh para pedagang dari wilayah lain.
Kondisi pasar yang serbaneka ini ternyata juga menjadi media pendidikan pemasaran untuk anak-anak. Terdapat suatu tradisi yang disebut dengan angon putu (menggembalakan cucu). Anak-anak yang menginjak umur satu windu (8 tahun) dengan bimbingan kakek (atau orang yang dituakan di keluarga sang anak) diajak dan diperkenalkan dengan kehidupan pasar. Sang kakek dengan membawa cambuk (simbol sedang menggembalakan sesuatu) mengiringi di belakang para cucu (yang dikalungi tambang – simbol sesuatu yang sedang digembalakan) mengenal mata dagangan, proses jual beli, dan beberapa dilatih untuk bertransaksi, sungguhpun hanya sekedar ‘nembung’ beli semangkuk dawet. Pendidikan pemasaran dengan langsung melihat lapangan kepada anak berumur 8 tahun ini mungkin yang tidak ditemui di lingkup budaya lain.
Sayangnya ritual angon putu sekarang sama sekali sudah tidak ada. Alasannya adalah berubahnya sistem pasar di kota-kota dan kawedanan-kawedanan, karena introduksi sistem pasaran lain, termasuk pasar ritel dan toserba. Dalam ingatan penulis, pasar Kliwon (Kliwonan) Klaten menjadi mati setelah pemerintah daerah memisahkan pasar ternak besar dengan pasar unggas dengan memindahkannya ke luar pusat kota. Sejak saat itulah pasar Klaten menjadi sepi. Acara angon putu, berganti menjadi ‘nonton toko‘.
Memudarnya Kondisi Gemah Ripah Loh Jinawi
Berikut penulis kutip kembali penggal Janturan Nuswantoro di Pendahuluan yang kira-kira ada kaitannya dengan Sistem Pasaran Panunggalan: “Gemah kathah poro nangkudo kang lumaku dedagangan anglur selur datan ono pedhoté, labet tan ono sangsayaning margi. Ripah kathah para janmo monco negari kang samyo katrem abebalé wisma ing salebeting kitha, jejel apipit bebasan aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak. Loh subur kang sarwo tinandur. Jinawi murah kang sarwo tinuku. Karto poro kawulo ing padusunan mungkul pangôlahing tetanèn ingon-ingon kebô-sapi pitik-iwèn datan cinancangan rahino aglar ing pangonan wanci ratri bali marang kandhange dhéwé-dhéwé datan wonten kang cèwèt“, yang artinya kira-kira “Gemah, banyak para nahkoda yang berjalan sambil berdagang hilir-mudik tiada putusnya karena tiada mara bahaya di jalanan. Ripah, banyak orang asing yang merasa tenteram berumahtangga di pusat kota dalam pemukiman padat sehingga tempat lapang terasa sempit. Loh, subur semua yang ditanam. Jinawi, murah semua yang dibeli (terjangkau). Karto, masyarakat di pedesaan bertani sungguh-sungguh memelihara ternak kerbau-sapi dan unggas tanpa diikat, pagi mencari makan di padang gembalaan, sore pulang ke kandang masing-masing tanpa ada yang hilang.”
Ya, itulah harapan yang selalu didengungkan oleh Ki Dalang dalam membuka pagelaran. Janturan seperti itu, tentunya bukan hanya harapan, tetapi sudah pernah terjadi. Kondisi itu kiranya dapat diwujudkan jika sistem pasaran panunggalan masih dilaksanakan dengan baik dan tertip. Swasembada berbagai komoditas dapat berlangsung lestari. Karena apa?
Mari coba kita bayangkan. Ada suatu wiayah yang kegiatan perekonomiannya bergiliran dari satu tempat ke tempat lain dengan jadwal yang jelas. Hari Kliwon di pusat pemerintahan (ibukota), Legi di sebelah Selatan ibukota, Pahing bergerak ke sebelah Barat, Pon bergerak ke sebelah Utara, Wage ke sebelah Timur dan kembali lagi ke ibukota pada hari Kliwon berikutnya. Nangkudo yang anglur selur terjamin. Perputaran “uang” dan multiplikasinya berlangsung baik. Ketergantungan akan produk dari luar wilayah dapat ditekan. Petani di pedesaan tetap hidup sejahtera menyelenggarakan usahanya, karena ada kepastian pasar yang terjadwal. Jadwal yang jelas juga memudahkan tindakan pengamanan, sehingga wilayah itu tetap dalam keadaan karto toto raharjo, aman tertib jauh dari mara bahaya. Kondisi Eko Adi Doso Purwo dapat diharapkan mewujud.
Tapi, sekarang? Lihatlah kondisi kota-kota dan kabupaten-kabupaten kita dewasa ini. Dengan semangat OTODA beberapa kabupaten, ibukotanya menjadi Kota Madya dan di luar itu menjadi kabupaten. Kota-kota seolah-olah merasa dapat berdiri kokoh tanpa dukungan wilayah kabupaten, yang dulunya adalah daerah-daerah penyangga perekonomian dengan jadwal pasaran panunggalan. Usaha tani menjadi semakin jauh dari pasar, dengan jembatan para pengumpul dan bandar yang datang langsung ke desa, terkadang dengan sistem ijon. Peternakan rakyat juga ikut memudar, karena kepastian pasar yang semakin hilang.
Pemisahan kota dengan wilayah penyangga dan mengkhususkan kota sebagai area bisnis “non pertanian” menyebabkan arus urbanisasi yang semakin deras. Urbanisasi menyebabkan kantong-kantong pemukiman kumuh dan cenderung meningkatnya kriminalitas di area peri-urban (pinggir kota) dengan ironi harus hidup berdampingan dengan pemukiman-pemukiman mewah berpenjaga keamanan.
Bukti nyata adalah kemacetan lalu-lintas di mana-mana yang bukan dipadati oleh kendaraan-kendaraan yang mentransportasikan barang ke kota sehingga membangkitkan nilai tambah produk lokal pedesaan, melainkan hanya mendistribusikan penumpang. Singkatnya potensi ekonomi wilayah pedesaan semakin terpinggirkan. Ditambah dengan hadirnya toko-toko ritel (sebagian besar dimiliki oleh pemodal asing) yang merambah sampai pedesaan.
PENUTUP: PENERAPAN KEMBALI, MUNGKINKAH?
Sekali lagi, dahulu pusat kota dalam sistem pasaran panunggalan, tetap menjadi pusat perekonomian yang didukung secara bergilir oleh wilayah-wilayah sekitar, yang dahulu (mungkin) disebut Kawedanan. Sekarang, kita lihat konsep OTODA dan pemisahan PEMKOT dengan PEMKAB, mempertontonkan bahwa kota merasa dapat bebas dari wilayah-wilayah penyangga. Hal ini telah menyebabkannya menjadi peri-urban yang menjadi kantong-kantong kekumuhan dan bahkan kriminal kecil-kecilan. Semangat hidup rukun penuh kegotongroyongan berganti menjadi hidup dengan semangat persaingan yang tidak sehat. Antara Pemkot dan Pemkab kadang-kadang malah berebut kesempatan menarik pajak!
Jika kita ingin membangun perekonomian wilayah, maka pasaran panunggalan kiranya menawarkan pemecahan yang komprehensif. Sistem ini dapat diandalkan untuk membangkitkan perekonomian yang dinamis berawal dari ibukota, mengimbas membawa kemakmuran ke wilayah-wilayah penyangga. Produk lokal wilayah secara bergiliran dapat terpasarkan, membawa kondisi karto toto raharjo.
Untuk itu semua, yang pertama kali harus kita akui adalah, bahwa selama ini kita telah mengingkari sifat genetik kejawaan yang dahulu pernah hidup makmur sejahtera di bumi tropika basah ini. Salah satu sifat genetik kejawaan itu adalah sistem panunggalan sangkan-paran dan pancer-moncopat. Bahwa segala sesuatu itu adalah gerakan konsentris membumbung semakin besar. Harus ada yang menjadi Pancer dan harus ada yang sadar betul sebagai moncopat, karena antara sangkan dan paran itu ternyata TUNGGAL adanya. Saatnya semangat perpecahan dan egoisme kita tinggalkan dan kita ganti dengan semangat panuggalan. Kita galang lagi semangat gotong royong dengan nilai rukun, menggantikan semangat persaingan bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar